Bismillah, Ashshalatu wassalamu 'ala Rasulillah. Sehat selalu wahai sahabat pembaca yang budiman, semoga pertolongan Allah senantiasa bersama kalian. Amin.
Banyak kita perhatikan di masyarakat yang salah kaprah dalam memaknai ibadah puasa ramadhan. Salah kaprah dalam menjalani ibadah puasa ramadhan. Seperti hal berikut ini:
1. Jika haid, maka tidak perlu puasa dan tidak perlu meng-qadha
Jika haid, maka tidak perlu puasa dan tidak perlu meng-qadha
Kami pernah mendapati ada orang yang memahami bahwa jika wanita haid
maka tidak perlu puasa di bulan Ramadhan dan tidak perlu menggantinya. Jelas ini
pemahaman yang keliru. 'Aisyah radhiallahu'anha pernah ditanya:
“Mengapa wanita haid harus meng-qadha puasa dan tidak perlu meng-qadha
shalat?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah
(Khawarij)?”. Ia menjawab, “Saya bukan orang Haruriyah, namun saya sekedar
bertanya”. Aisyah berkata, “Dahulu juga kami mengalami haid (di masa Nabi
shallallahu‘alaihi wasallam), namun kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa
dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat”.
Maka jelas bahwa wanita haid wajib meng-qadha puasanya di luar Ramadhan.
Dan tidak ada ikhtilaf di antara ulama dalam masalah ini. An Nawawirahimahullah
mengatakan: “Ulama kaum Muslimin sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak
wajib untuk shalat dan puasa ketika masa haidnya. Dan mereka sepakat bahwa wanita
haid tidak wajib meng-qadha shalat dan mereka juga sepakat bahwa wanita haid
wajib meng-qadha puasanya”
2. Jika haid atau meninggalkan puasa, maka tidak perlu meng
qadha, cukup bayar fidyah.
Ini keyakinan yang keliru. Sebagaimana dalam riwayat dari Aisyah
radhiallahu'anha di atas, wanita haid itu meng-qadha puasanya.
Dan membayar fidyah itu hanya berlaku pada beberapa golongan berikut ini:
- Orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi untuk puasa
- Orang yang sakit dengan penyakit yang berat dan tidak diharapkan
kesembuhannya
- Wanita hamil dan menyusui, menurut sebagian ulama
Berdasarkan firman Allah ta'ala Surah Al Baqarah ayat 184:
"Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, wajib membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin”
Adapun yang wajib meng-qadha dan juga wajib membayar fidyah, mereka
adalah wanita hamil dan menyusui jika khawatir kepada anak mereka. Maka mereka
boleh meninggalkan puasa dan meng-qadha puasanya. Dan mereka berdua wajib
meng-qadha sekaligus juga membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas, Mujahid dan juga merupakan pendapat Asy Syafi'irahimahullah. Dan
sebagian ulama mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui tidak perlu
membayar fidyah (hanya qadha saja). Ini adalah pendapat Al Hasan Al Bashri, Atha,
Ibrahim An Nakha'i, Az Zuhri, Al Auza'i, Ats Tsauri dan merupakan pendapat
Hanafiyah.
Sedangkan, yang wajib meng-qadha saja dan tidak membayar fidyah, mereka adalah
orang sakit, musafir, wanita haid dan nifas.
3. Berbohong membatalkan puasa
Tidak ada dalil yang membuktikan bahwa berbohong itu membatalkan puasa.
Namun memang berbohong itu bisa membatalkan pahala puasa, sebagaimana
maksiat-maksiat lainnya. Dalam hadits dari Abu Hurairahradhiallahu'anhu, Nabi
Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan amalan dusta serta kejahilan
(maksiat), maka Allah tidak butuh amalan ia meninggalkan makan atau minum”
Maka bagi mereka yang berbohong ketika sedang puasa, bisa jadi puasanya sah
sehingga ia tidak dituntut untuk mengulang kembali, namun pahalanya berkurang
atau hangus.
4. Makan sahur itu pukul 2 malam atau pukul 3 malam
Makan Sahur seperti ini tidaklah keliru secara total, dan makan sahurnya tetap sah, akan tetapi hal ini
tidak sesuai dengan apa yang disunnahkan oleh Baginda Rasulullah Shollahu 'alaihi wassalam.
Karena dianjurkan untuk menunda sahur
hingga mendekati waktu terbitnya fajar, selama tidak dikhawatirkan datangnya waktu
fajar ketika masih makan sahur. Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma bertanya kepada
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu,
ً
“Berapa biasanya jarak sahur Rasulullah dengan azan (subuh)? Zaid menjawab:
sekitar 50 ayat”14.
Demikian juga, makan sahur pukul 2 atau 3 malam, membuat seseorang
mengantuk setelahnya dan terlewat shalat subuh.
Namun makan sahur pada waktu demikian tetap sah karena awal waktu sahur
adalah pertengahan malam. An Nawawi rahimahullah mengatakan: “Waktu sahur itu antara pertengahan malam hingga terbit fajar”
5. Harus berhenti makan dan minum ketika imsak
Waktu imsak yang yang kita ketahu di Indonesia ini adalah waktu 10 menit sebelum
masuknya waktu subuh. Mereka yang menetapkan waktu imsak ini beralasan untuk
kehati-hatian agar tidak makan atau minum ketika sudah masuk waktu subuh.
Namun
yang menjadi masalah adalah adanya anggapan bahwa ketika sudah waktu imsak
maka sudah tidak boleh makan atau minum lagi. Ini anggapan yang keliru.
Allah ta'ala sudah sebutkan dalam Al Qur'an tentang batasan waktu bolehnya
makan atau minum bagi orang yang hendak puasa adalah ketika terbit fajar atau
waktu subuh. Allah ta'ala berfirman:
"Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila Bilal mengumandangkan adzan pada malam
hari, maka makan dan minumlah sampai kamu mendengar adzan yang akan
diperdengarkan oleh Ibnu Ummi Maktum. Karena dia tidak mengumandangkan
adzan hingga terbit fajar (shadiq)”.
Rasulullah juga bersabda yang artinya"Umatku akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur" (HR. Ahmad).
Hal ini berarti waktu 10 menit sebelum Azan Subuh kita masih dipersilahkan makan dan minum.
Sumber : Beberapa salah kaprah seputar Puasa, Yulian Purnama.
Silahkan download E-Booknya Beberapa Salah Kaprah Seputar Puasa Ramadhan