Assalamualaikum shabat Bookmay Madrasah, berikut adalah isi dari kajian Islam Ilmiah dengan tema orang yang merugi yang sampaikan oleh Ust. Abu Hisyam Akhirudin, Lc Hafidzahullah pada hari Jum'at, 7 Februari 2020 / 13 Jumadil Akhir 1441 H di Masjd Raya Al Raiyah, Komp. DPRD Provinsi Sumatera Selatan dan dirangkum oleh The Crew Ghuroba.
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
«... فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ»
“… Maka sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek perkara adalah BID'AH , dan setiap BID'AH adalah sesat dan kesesatan tempatnya dineraka.” (HR Muslim, hadits no 867)
Rangkuman :
Pada pembahasan kali ini kita buka dengan Firman Allah Subhanahu wata'ala didalam Surat Al Kahfi ayat 103 - 106
Allah berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا .
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا .
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا.
ذَٰلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan Rasul-Rasul-Ku sebagai olok-olok.” (Al-Kahfi : 103 -106)
Allâh Azza wa Jalla mewajibkan seluruh hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya. Kemudian Dia akan memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan. Namun ibadah akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , jika memenuhi syarat-syarat diterimanya amal sebagaimana telah dijelaskan oleh Allâh dan Rasul-Nya. Syarat-syarat tersebut ada tiga, yaitu: iman, ikhlas, dan ittiba’.
1. IMAN
Secara bahasa Arab, sebagian orang mengartikan iman dengan: tashdîq (membenarkan atau meyakini kebenaran sesuatu); thuma’ninah (ketentraman); dan iqrâr (pengakuan).
Sebagai seorang muslim berkeyakinan yang pasti bahwa orang orang yang tidak memeluk agama Islam amalannya tidak diterima Allah sampai ia beriman kepada Allah Sunhanahu wata'ala, sampai meyakini Allah itu esa, satu satunya sesembahan yang patut disembah.
Dengan demikian, iman adalah iqrâr (pengakuan) hati yang mencakup:
- Keyakinan hati, yaitu meyakini kebenaran berita.
- Perkataan hati, yaitu ketundukan terhadap perintah.
Yaitu: keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan ketundukan terhadap segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allâh Azza wa Jalla .
Firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16: 97]
2. IKHLAS
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan. Maksud ikhlas dalam syara’ adalah memurnikan niat dalam beribadah kepada Allâh, semata-mata mencari ridha Allâh, menginginkan wajah Allâh, dan mengharapkan pahala atau keuntungan di akhirat. Serta membersihkan niat dari syirik niat, riya’, sum’ah, mencari pujian, balasan, dan ucapan terimakasih dari manusia, serta niat duniawi lainnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. [Al-Bayyinah/98: 5]
3. ITTIBA
Ittibâ’ adalah mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh, maka syahadat tersebut memuat kandungan: meyakini berita Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mentaati perintah Beliau, menjauhi larangan Beliau, dan beribadah kepada Allâh hanya dengan syari’at Beliau. Oleh karena itu, barangsiapa membuat perkara baru dalam agama ini, maka itu tertolak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali-Imran/3: 85]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak. (HR. Al-Bukhâri, no. 2697; Muslim, no. 1718)
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Kepada Siapa Ayat (Al Kahfi 103 + 106) Ini Ditujukan?
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. Pendapat tersebut di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
1⃣ Mereka adalah para pendeta. Terdapat riwayat dari Sa’d bin Abi Waqqash, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma dan adh-Dhahhak. (Tafsir ath-Thabari, 16/33)
2⃣ Pendapat lain mengatakan mereka adalah Ahlul Kitab: Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma.
Ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang ayat ini. ‘Apakah (yang dimaksud) adalah Haruriyyah (Khawarij)?’
Sa’d bin Abi Waqqash (ayahnya) menjawab, “Bukan. Mereka adalah Ahlul Kitab, Yahudi dan Nasrani. Adapun Yahudi mereka telah mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Nasrani karena mereka mengingkari surga dan berkata, ‘Di dalamnya tidak ada makanan dan minuman’.” (Tafsir ath-Thabari, 16/33)
3⃣ Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah Khawarij sebagaimana yang diriwayatkan oleh ath-Thabari rahimahullah dengan sanadnya dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Kalian (yang dimaksud), wahai penduduk Harura’ (Khawarij, red.)!” (ath-Thabari, 11/34)
4⃣ Pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir penduduk Makkah. Ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. (Tafsir al-Qurthubi, 11/66)
Yang rajih (kuat) dalam menjelaskan maksud ayat ini bahwa ayat ini memiliki makna secara umum dari pendapat-pendapat yang disebutkan di atas. Mencakup setiap orang yang mengamalkan amalan yang salah dalam keadaan dia menyangka bahwa dialah yang paling baik amalannya.
Khawatirlah ketika dihari kiamat ketika kita berada di padang mahsyar dan tidak bisa meminum air di telaga haudh, tentu hal ini amat merugikan di hari kiamat.
Di dalam firman-Nya :
قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. [Az-Zumar/39:15]
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu mengingkari majelis dzikir
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Salamah Al-Hamdani radiallahu’anhu, beliau berkata,
“Suatu ketika kami duduk di depan pintu rumah ‘Abdullah bin Mas‘ud sebelum shalat subuh. Apabila beliau keluar, kami akan berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba, datanglah Abu Musa Al-Asy‘ari, lalu bertanya, “Apakah Abu ‘Abdirrahman telah keluar rumah?”
Kami menjawab, “ Belum .”
Dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas‘ud keluar. Ketika beliau keluar, kami semua bangun untuk menyambutnya.
Lalu Abu Musa Al-Asy‘ari berkata kepadanya, “Wahai Abu ‘Abdirrahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang tidak aku setujui, tetapi aku tidak melihat –alhamdulilah- melainkan perkara yang baik.”
Dia bertanya, “Apakah itu?”
Abu Musa berkata, “Jika umur engkau panjang, engkau akan melihatnya. Aku melihat sekelompok orang, mereka duduk dalam lingkaran (halaqah) menunggu shalat. Pada setiap kelompok, ada seorang lelaki yang di tangan mereka memegang batu. Apabila lelaki itu berkata,‘Bertakbirlah seratus kali!’, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata,‘Bertahlil-lah seratus kali’, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata,‘Bertasbihlah seratus kali’, mereka pun bertasbih seratus kali.”
‘Abdullah bin Mas‘ud radiallahu’anhu berkata, “Apa yang telah Engkau katakan kepada mereka?”
Abu Musa menjawab, “Aku tidak mengatakan apa-apa kepada mereka karena aku menanti pendapat dan perintahmu.”
‘Abdullah bin Mas‘ud radiallahu’anhu berkata, “Mengapa Engkau tidak memerintahkan mereka menghitung kejelekan-kejelakan mereka dan Engkau jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan sia-sia sedikit pun.”
Lalu beliau berjalan, kami pun berjalan bersamanya. Sehingga beliau tiba di salah satu kelompok melingkar tersebut. Beliau berdiri lantas berkata, “Apa ini yang aku lihat kalian sedang melakukannya?”
Mereka menjawab, “Wahai Abu ‘Abdirrahman! Ini adalah batu yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih.”
Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu menjawab,
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Salamah Al-Hamdani radiallahu’anhu, beliau berkata,
“Suatu ketika kami duduk di depan pintu rumah ‘Abdullah bin Mas‘ud sebelum shalat subuh. Apabila beliau keluar, kami akan berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba, datanglah Abu Musa Al-Asy‘ari, lalu bertanya, “Apakah Abu ‘Abdirrahman telah keluar rumah?”
Kami menjawab, “ Belum .”
Dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas‘ud keluar. Ketika beliau keluar, kami semua bangun untuk menyambutnya.
Lalu Abu Musa Al-Asy‘ari berkata kepadanya, “Wahai Abu ‘Abdirrahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang tidak aku setujui, tetapi aku tidak melihat –alhamdulilah- melainkan perkara yang baik.”
Dia bertanya, “Apakah itu?”
Abu Musa berkata, “Jika umur engkau panjang, engkau akan melihatnya. Aku melihat sekelompok orang, mereka duduk dalam lingkaran (halaqah) menunggu shalat. Pada setiap kelompok, ada seorang lelaki yang di tangan mereka memegang batu. Apabila lelaki itu berkata,‘Bertakbirlah seratus kali!’, mereka pun bertakbir seratus kali. Apabila dia berkata,‘Bertahlil-lah seratus kali’, mereka pun bertahlil seratus kali. Apabila dia berkata,‘Bertasbihlah seratus kali’, mereka pun bertasbih seratus kali.”
‘Abdullah bin Mas‘ud radiallahu’anhu berkata, “Apa yang telah Engkau katakan kepada mereka?”
Abu Musa menjawab, “Aku tidak mengatakan apa-apa kepada mereka karena aku menanti pendapat dan perintahmu.”
‘Abdullah bin Mas‘ud radiallahu’anhu berkata, “Mengapa Engkau tidak memerintahkan mereka menghitung kejelekan-kejelakan mereka dan Engkau jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan sia-sia sedikit pun.”
Lalu beliau berjalan, kami pun berjalan bersamanya. Sehingga beliau tiba di salah satu kelompok melingkar tersebut. Beliau berdiri lantas berkata, “Apa ini yang aku lihat kalian sedang melakukannya?”
Mereka menjawab, “Wahai Abu ‘Abdirrahman! Ini adalah batu yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih.”
Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu menjawab,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ
“Hitunglah dosa-dosa (kejelekan) kalian, dan aku jamin pahala-pahala (kebaikan) kalian tidak akan sia-sia sedikit pun. Celaka kalian, wahai umat Muhammad! Alangkah cepat kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih banyak, baju beliau belum lusuh, dan wadah makanan dan minuman beliau pun belum pecah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas agama yang lebih mendapatkan petunjuk daripada agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sebenarnya kalian sedang membuka pintu-pintu kesesatan?”
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdirrahman, kami hanya bertujuan baik.”
Ibnu Mas’ud radiallahu’anhu menjawab,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَه
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, tetapi mereka tidak mendapatkannya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 204 dengan sanad yang hasan)
🗣 sumber : ikhwan Bis 7
✒ Editor : Berbagi Ilmu Syar'i
📱 081278045229
📡 Raih amal shalih dengan menyebarkan kiriman ini , semoga bermanfaat.
Jazakumullahu khoiron.
Wa : https://chat.whatsapp.com/Act3eHGUczWEDWDhiIoaB8
Fb : https://www.facebook.com/PalembangMengaji/
Ig : https://www.instagram.com/the.ghuroba/
Utube : https://www.youtube.com/channel/UCW-4tOwjHOgmxY0PGfqktRQ
Twitter: https://mobile.twitter.com/payoongaji
Labels:
Kutipan Hadis
Thanks for reading Orang yang merugi. Please share...!
0 Comment for "Orang yang merugi"